Sabtu, 05 April 2014

Indonesia, Bangsa yang (Me)lupa



Tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan menjadi puncak hancurnya martabat bangsa. Bagaimana tidak, MK yang selama ini menjadi benteng terakhir hukum di Indonesia sudah runtuh harkat dan martabatnya lantaran orang mereka sendiri.
Nampaknya, bangsa Indonesia kini dihadapkan dengan permasalahan pelik yang membelit dunia hukumnya. Korupsi sudah menjadi penyakit yang akut (hampir) di setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia. Situs korupedia.org melansir bahwa tindakan korupsi terjadi mulai dari pejabat tinggi, daerah, bahkan masyarakat biasa.
Menurut survey yang dilakukan oleh transparency.org, tahun 2013 ini, Indonesia menduduki peringkat lima sebagai negara terkorup di dunia. Bahkan, Indonesia berada di peringkat teratas atau negara terkorup di Asia-Pasifik. Indonesia kalah jauh dengan negara tetangga, Singapura, yang menjadi salah satu negara yang bersih dari korupsi (versi CPI/Corruption Perseption Index). Miris.
Korupsi yang Mengakar
Dilihat dari sisi sejarah, sebetulnya korupsi di Indonesia sudah ada sebelum kemerdekaan. Pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (seperti; Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, dan Banten), korupsi muncul dengan bermotifkan kekuasaan dan memperkaya diri, menjadi faktor penting yang mengakibatkan kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Setelah itu berubah lagi dengan kedatangan VOC. VOC, yang sebenarnya semacam lembaga dagang Belanda, menerapkan politik etis sewaktu menjajah. Masyarakat Indonesia, yang sebagaian besar berasal dari golongan miskin, ditambah para elit bangsawan yang lebih suka memperkaya diri dan keluarga, memudahkan Belanda menghasut kedua golongan tersebut.
Zaman pemerintahan Soekarno, usai Indonesia merdeka, sudah terdapat Badan Pemberantasan Korupsi, lebih dikenal dengan sebutan Paran atau Operasi Budhi. Hanya saja, lembaga ini berjalan setengah hati dan gagal membongkar kasus korupsi di saat itu.
Di era pemerintahan Soeharto lebih mengerikan lagi. Meski dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang ditugaskan membongkar korupsi di lembaga pemerintahan, seperti Bolug, Pertamina, dan Depertemen Kehutanan yang mendapat banyak sorotan ketimbang lembaga lain, juga gagal mengusut benang kusut permasalahan korupsi.
Era pemerintahan BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati pun dibentuk tim yang bertugas memberantas korupsi meski dengan istilah yang berbeda, namun tetap gagal membongkar kasus korupsi. Belum lagi ditambah rendahnya wibawa hukum pada saat itu.
Pemaparan tersebut bukan bermaksud mengorek luka lama, akan tetapi lebih bertujuan sebagai bahan renungan. Kini, di Era pemerintahan SBY, keberadaan KPK memberikan harapan kepada bangsa Indonesia yang mendambakan negara yang bebas korupsi. Meski masih bersifat impian, setidaknya harapan mesti tetap harus, bahkan wajib untuk kita jaga.
Melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi sejak dahulu, korupsi sebenarnya sudah mengakar pada masyarakat Indonesia. Namun dalam pelaksaan pemberantasan korupsi dari zaman revolusi hingga reformasi, selalu saja membuat mata terbelak dengan kasus korupsi yang tak kunjung usai, walaupun pada pemerintahan SBY terdapat lembaga pemberantasan korupsi. Hingga saat ini, korupsi seolah menjadi suatu “kewajiban” dalam setiap masyarakat.
Budaya Malu
Indonesia, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran dan nilai-nilai religiusitas, sudah barang tentu mesti mengedepankan kejujuran dan sikap taat terhadap norma. Akan tetapi, realitas berkata lain. Indonesia justru dikepung prahara korupsi yang manjangkit dari elit politik, anggota dewan hingga pemerintah daerah.
Dalam sebuah diskusi, Lipset dan Lens dalam buku Kebangkitan Peran Budaya, menjelaskan bahwa negara-negara yang didominasi kaum Protestan korupsinya lebih sedikit dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan etos kerja keagamaan Protestan lebih kondusif bagi sikap taat norma. “Etos Protestan, khususnya yang sektarian, percaya bahwa individu-individu secara pribadi betanggung jawab untuk menghindari dosa, sedangkan aliran Kristen yang lain, khususnya Geraja Katolik, lebih menekankan pada kelemahan bawaan yang sudah menjadi sifat manusia, ketidakmampuan untuk luput dari dosa dan kesalahan, dan kebutuhan akan gereja untuk mengampuni dan melindungi,” tulisnya.
Bukan bermaksud mengadili, namun agar menjadi pembelajaran bagi semua, tanpa terkecuali. Penulis yakin bahwasannya semua agama mengajarkan umatnya agar bertindak taat norma dan bertindak jujur. Masyarakat Indonesia lupa akan ajaran sederhana yang ditanamkan sedari kecil, yaitu ajaran untuk berlaku jujur dalam melakukan pekerjaan dan merasa malu jika melakukan tindakan tidak jujur. Dalam konteks ini, bangsa Indonesia yang melakukan korupsi, telah menjadi bangsa yang (me)lupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar