Rabu, 10 Agustus 2011

‘Pelarian’ atau ‘Pelampiasan’?

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah lama kahadirannya di bumi pertiwi. Mulai dari sebelum Indonesia merdeka hingga kini sudah menjadi genap 66 tahun.
Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 1926 dengan tokoh pendirinya yang bernama KH Hasyim Asy’arie
sudah melewati beberapa ‘musim’ dalam mendampingi Indonesia dengan mengalami berbagai peristiwa.
Mulai dari terjunnya dalam bidang politik hingga kembali ke Khittah 1926, yakni kembali ketujuan awal berdirinya, menyebarkan ajaran agama islam. Dalam menyiarkan agama islam, NU kini sudah mempunyai Pondok Pesantren (Ponpes) yang tersebar diseluruh nusantara (paling banyak di pulau jawa).
Muhammadiyah sendiri bisa dikatakan tak muda umurya. Berdiri pada 18 November 1912 dengan tokohnya KH Ahmad Dahlan kini sudah turut andil merebakkan sayapnya untuk membangun Indonesia. Berbagai bidang telah diterjuni oleh organisasi ini. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah sudah memiliki cabang-cabang lembaga pendidikan. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI)/SD sampai perguruan tinggi. Dalam bidang ekonomi. Contoh; di Yogyakarta, pasar-pasar swalayan yang didirikan oleh Muhammadiyah pun sudah berkembang dan memiliki beberapa cabang. Begitupun dalam bidang kesehatan. Rumah sakit - rumah sakit yang didirikan Muhammadiyah juga sudah menyebar luas di Indonesia.
Selasa (9/8) lalu, saya menghadiri sebuah acara yang diisi oleh ‘Kyai Kanjeng’ (group music islami) bersama Emhaainun Najib (Cak Nun). Acara tersebut diadakan oleh Nahdlatul Muhammadiyyin. Acara tersebut dibuat selayaknya forum.

Ketidakpuasan pengikut?
Acara malam itu bisa dibilang cukup ramai. Ratusan orang tumpah ruah di pelataran Pendapa Rumah Bapak Daliso Rusdianto, jalan Dr. Soepomo No. 121 Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta. peserta berasal dari berbagai kalangan. Dari umat islam yang berasal dari NU, Muhammadiyah, aktivis, budayawan, seniman sampai mahasiswa.
Yang menjadi sorotan ialah peserta islam NU dan Muhammadiyah yang menjadi panitia atau yang terlibat dalam acara tersebut. Dari segi nama ‘Nahdlatul Muhammadiyyin’, secara bahasa nama tersebut diambil dari kata ‘Nahdlatul Ulama’ (diambil kata depannya) dan Muhammadiyyin (dari kata Muhammadiyah dengan memadukan sebutan kaum NU (Nahdliyyin) menjadi Muhammadiyyin.
Menurut penulis, forum tersebut seakan menjadi sebuah forum ‘pengikut’ yang tidak puas (maaf, pembangkang) dengan organisasi yang sebelumnya. Dalam forum malam itu, sempat Cak Nun menyampaikan bahwa acara tersebut tak ada kaitannya sebagai forum alternatif bagi ‘pengikut’ NU atau pun Muhammadiyah yang tidak puas dengan apa yang diperolah dalam organisasi sebelumnya.
Memang, orang yang hadir langsung dalam acara tersebut akan dapat memahaminya dengan mendengar ceramah yang disampaikan oleh Cak Nun dalam forum tersebut. Berbeda cerita jika orang yang tidak mengikuti forum tersebut. Tentu dalam penafsirannya secara tidak langsung mengarah pada pemahaman bahwa forum ‘Nahdlatul Muhammadiyyin’ merupakan forum bagi orang-orang yang tidak atau kurang puas dengan NU dan Muhammadiyyah. Padahal, dalam acara tersebut juga hadir dari berbagai macam kalangan. Perlu sebuah sosialisasi kepada khalayak guna melurusnya jika terjadi pemahaman tersebut.

2 komentar:

  1. Sebuah komentar yang luar biasa, kami sangat mengapresiasinya. Betul yang diungkap saudara Ahmad Mustaqim bahwa sosialisasi kepada khalayak harus secara masif dijalankan, apapun bentuknya. Akan kurang bijak apabila Majelis 'Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin disebut sebagai sebuah pelarian atau pelampiasan tanpa mengetahui lebih mendalam apa yang disebut dengan NM. Nahdlatul Muhammadiyyin sendiri kami maknakan sebagai "Kebangkitan pengikut Nabi Muhammad". Bahwa didalam majelis terdapat orang-orang yang berlatar belakang NU maupun Muhammadiyah, itu adalah sebuah kenyataan (saya sendiri menrupakan pengurus Muhammadiyah). Harapan kami, orang NU yang hadir di NM akan semakin kental NU-nya dan menjadi Nahdliyin yang plural, demikian juga dengan Warga Muhammadiyah akan semakin kental Muhammadiyah-nya dan menjadi warga Muhammadiyah yang plural. Terima kasih Mas Ahmad Mustaqim.

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas komentarnya Bapak/Mas Eddy N. Yang jelas semoga pluratas Indonesia tetap terjaga tanpa ada konflik

    BalasHapus