Mahasiswa adalah agen perubahan (agen of social changes). Perubahan sosial politik di negeri ini, mulai tahun 1945, 1966, dan juga 1998 tak dapat dilepaskan dari peran mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran strategis itu jelas jelas bersumber pada aspek intelektualitas mahasiswa.
Namun, hari ini, kiranya harus ditegaskan bahwa aspek penting dalam kehidupan mahasiswa itu kian hilang, bahkan telah mati. Ya, intelektualitas mahasiswa telah mati. Matinya intelektualitas mahasiswa itu dapat dilihat dari beberapa gejala.
Pertama, sulitnya mencari forum diskusi di kampus. Di masa lalu, kita dengan mudah dapat menemukan mahasiswa bergerombol di bawah pohon, di teras kampus, di angkringan, dan tempat-tempat lain di pojok-pojok kampus. Mereka dengan khusyu’ menekur memikirkan persoalan di sekitarnya, mulai masalah kampus hingga Negara.
Kultur semacam itu sekarang tampak sangat kurang. Mahasiswa terjebak pada kultur pragmatis. Mahasiswa lebih suka hidup glamor, berhura-hura, serta shopping ke mall. Mahasiswa lebih senang berpikir masa bodoh, tidak tertarik mengikuti dan mengadakan diskusi. Bila ditanya, selalu menjawab ”Apa urusanmu, jangan sok ngatur deh, atur sendiri kehidupanmu”.
Kedua, kurangnya tradisi membaca di kalangan mahasiswa. Mahasiswa lebih suka menghabiskan uang untuk membeli pulsa, dan ber-SMS ria dengan teman. Seringkali kegiatan itu dilakukan tanpa tujuan yang jelas selain hura-hura. Sangat jarang ada mahasiswa yang rela menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku bermutu. Lalu membaca buku itu dengan kritis dan menjadikannya sebagai bahan diskusi. Tidak mau membaca adalah pintu menuju kematian intelektualitas mahasiswa. Membaca jelas merupakan harga mati, bila mahasiswa ingin menambah pengetahuan, meningkatkan daya kritis, dan seterusnya.
Ketiga, kegagalan pengelola kampus menciptakan kultur intelektuas. Matinya intelektualitas kampus boleh jadi bukan semata faktor kesalahan mahasiswa. Sangat mungkin, kematian intelektualitas itu dipicu oleh ketidakmampuan pihak kampus membangun kultur intelektualitas. Misalnya, sistem pembelajaran yang membodohi, kurang mampu merangsang mahasiswa berpikir kritis, dan mandul dalam memancing hasrat mahasiswa untuk membaca dan menulis.
Maka, tidak ada jalan lain kecuali melakukan revolusi proses pembelajaran di kampus. Kampus harus bekerja keras untuk mengembalikan kultur intelektual mahasiswa. Pola pembelajaran hendaknya diubah ke arah yang lebih idealis, yakni tidak menciptakan proses robotisasi mahasiswa yang hanya mengejar nilai IPK, cepat lulus kuliah, dan seterusnya. Tetapi, proses pembelajaran yang lebih mengasah dan merangsang sikap kritis, diskursif, dan menekankan pentingnya membaca, menulis dan berdiskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar