Kamis, 11 Agustus 2011

Kajian Sosiolinguistik Bahasa Pisuhan yang Di-pleset-kan Di Yogyakarta

A.  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, baik untuk menyampaikan pesan-pesan atau hanya sekadar untuk berinteraksi antar sesama. Dalam hal pemakaian, bahasa tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial masyarakat tertentu.

Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Koentjara-ningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1990:180). Hal itu tampak pada penjelasan Koentjaraningrat (1990:203-204) mengenai tujuh unsur kebudayaan yakni (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (4) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
Termasuk halnya bahasa pisuhan atau bahasa prokem atau juga yang biasa dikenal dengan bahasa preman. Memang, bahasa pisuhan sangat beragam dan setiap daerah memiliki ciri masing-masing. Bagi beberapa pemahaman moral tertentu, pisuhan ini tergolong kasar. Namun, sebagaimana manusia normal tentunya memiliki nafsu dan emosi. Salah satu media meluapkan emosi ketika sedang marah yaitu dengan misuh.
2.    Rumusan Masalah
Masyarakat Yogyakarta yang identik dengan masyarakat yang memiliki ciri watak yang halus mempunyai strategi khusus dalam mengungkapkan kata-kata pisuhan agar tidak terdengar kasar. Berikut ini rumusan masalah penulis guna memermudah fokus pembahasa:
a.    Bagaimana strategi masyarakat Yogyakarta dalam memodifikasi bahasa pisuhan yang dipakai?
b.    Apa yang menyebabkan terjadinya proses modifikasi bahasa pisuhan di Yogyakarta?
c.    Apa manfaat dari mem-pleset-kan bahasa tersebut bagi masyarakat Yogyakarta?

B.  Pembahasan
Kata ‘pisuhan’ yang sudah menjadi entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2007:880) diartikan sebagai kata-kata yang dilontarkan karena marah atau berarti makian. Pisuhan adalah pengungkapan rasa kesal terhadap sesuatu yang tidak memuaskan (kata kerja: misuh).1 Memang, bahasa pisuhan ini tergolong kasar. Tetapi semua itu dikembalikan pada niat untuk mengucapkan kata-kata tersebut. 
Pisuhan bukan dimaksudkan untuk merendahkan lawan bicara atau objek misuh, tetapi lebih mirip pada semacam pemuasan diri sendiri, melepas beban. Pada dasarnya setiap jenis kata apapun bisa menjadi kata pisuhan. Dengan demikian, setiap kata yang ada dalam direktori pisuhan tidak serta merta tergolong sebagai daftar hitam kata yang harus dihindari oleh anak di bawah umur.2
Eric Fromm (1947) menjelaskan identitas diri dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dari identitas sosial seseorang dalam konteks komunitasnya. Identitas diri tidak dapat dilepaskan dari norma yang mengikat semua warga masyarakat tempat ia hidup dan peran sosial yang diembannya dalam masyarakat.3
Setiap masyarakat, suku, kelompok, komunitas dan lain sebagainya tentu memiliki sebuah bahasa pemersatu sebagai ciri khas dari masyarakat tersebut. Termasuk halnya dengan masyarakat Jawa, meski mereka memiliki berbagai macam bahasa (Jawa halus, ngoko, Sunda, Jawa Timuran dan sebagainya) hal itu yang menjadi ciri khas masyarakat tersebut.
1.    Pisuhan Sebagai Ekspresi Dalam Emosi
Dari keragaman bahasa, termasuk bahasa Jawa, biasa dipergunakan oleh masya-rakatnya untuk mengungkapkan rasa senang, sedih, kagum, dan lain sebagainya. Dalam konteks bahasa pisuhan biasa dipakai untuk mengungkapkan rasa kesal, jengkel, marah, dan sebagainya.
Di dalam sosiolinguistik, entitas bahasa ditempatkan sebagai bagian dari sistem sosial. Bahasa tidak dapat dilepaskan dari masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya (Kunjana R: 2010). Oleh karena itu, kaitan antara bahasa dengan kondisi sosial masyarakat saling memengaruhi. Selayaknya makhluk Tuhan yang memiliki rasa amarah, emosi, kesal, dan lain sebagainya, masyarakat Yogyakarta pun demikian. Dari situ muncullah berbagai fenomena proses mem-pleset-kan kata pisuhan, seperti kata ‘bajigur, asem, dan ‘anjrit’.4
Kata ‘bajigur’ bukan berarti minuman hangat khas Jawa Barat, melainkan kata  pisuhan yang merupakan eufemisme dari kata pisuhan ‘bajingan. Selanjutnya kata ‘asem, kata ini bukan berarti semacam buah-buahan yang memiliki bahasa latin Tamarindus Indica, akan tetapi kata pisuhan yang sering dijumpai pada penggemar buah-buahan. Kata pisuhan ‘asem’ merupakan eufemisme dari kata pisuhan ‘asu’ (hewan).
Contoh selanjutnya adalah kata ‘anjrit’. Secara sepintas kata ini tidak memiliki makna, karena kata ‘anjrit’ merupakan plesetan dari kata pisuhan anjing. Berbagai macam kata pisuhan tersebut merupakan hasil modifikasi dari kata pisuhan aslinya. Hal ini bertujuan untuk memperhalus kata tersebut akan tetapi tidak merubah maknanya. Selain ketiga kata di atas masih banyak lagi kata pisuhan yang telah mengalami proses plesetan.
2.    Mem-pleset-kan Untuk Menjaga Citra dan Identitas
Masyarakat Yogyakarta dengan ‘menyandang’ identitas yang melekat sebagai masyarakat yang berperilaku sopan santun dan lemah lembut tentu selalu menjaga kesopansantunan dalam setiap perilaku, termasuk dalam hal berbicara. Seperti manusia pada umumnya, masyarakat Yogyakarta pun mempunyai perasaan emosi, marah, jengkel, dan lain sebagainya. Tatkala mereka sedang diliputi perasaan tersebut pun (sebagian) akan mengucapkan kata pisuhan.
Akan tetapi, kata-kata pisuhan yang mereka ungkapkan ketika sedang emosi tentulah berbeda. Hal tersebut bertujuan menjaga citra dari masyarakat Yogyakarta. Dengan mem-pleset-kan bahasa pisuhan yang mereka gunakan, secara tidak langsung mereka akan menjaga citra dari masyarakat tersebut.

C.  SIMPULAN DAN SARAN
1.    Simpulan
Masyarakat Yogyakarta yang identik dengan masyarakat yang berperilaku sopan santun dan lemah lembut juga memiliki rasa emosi, amarah, jengkel, dan lain sebegainya. Dalam meluapkan emosi tersebut, mereka menerapkan cara mem-pleset-kan kata pisuhan yang mereka ungkapkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga citra dan identitas dari masyarakat Yogyakarta sendiri.
2.    Saran
Kajian ini merupakan kajian awal mengenai bahasa pisuhan di Yogyakarta. Masih banyak hal yang belum penulis bahas didalam kajian ini, termasuk respon masyarakat Yogyakarta sendiri mengenai hal tersebut. Untuk itu, penulis mengharapkan saran pembaca guna melengkapi kajian ini.

1)  Diunduh dari situs: http://clubbing.kapanlagi.com/showthread.php?t=18852, pada 6 Juli 2011, pukul 21:35 WIB
2)  Ibid.
3)  Diunduh dari situs: http://www.balairungpress.com/2011/04/pisuhan-menunjukkan-bangsa/Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermenuetika, pada 7 Juli 2011, pukul: 10:40 WIB
4)  Ibid.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, Prof. Dr. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1990.
R. Kunjana 2010. Dasar-dasar Sosiolinguistik Konsep, dasar sosiolinguistik untuk memahami bahasa dalam konteks kultural, sosial, dan sosietalnya. Yogyakarta: Galang Press
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

http://clubbing.kapanlagi.com/showthread.php?t=18852/Kamus-Pisuhan-dan-Tata-Bahasa-Pisuhan/, pada 6 Juli 2011 pukul: 21:35 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar